Diantara kita masih banyak yang berpandangan bahwa dalam menentukan 1
Ramadhan dan 1 Syawal kita harus mengikuti Pemerintah karena
Pemerintah adalah Ulil Amri Minkum. Benarkah demikian?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ulil
amri minkum?
Menurut Abu al-’Ala’
al-Mubarakfuri dalam Tuhfadzu
al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi (Dar
al-Fikr, Beirut, III/207)
bahwa secara harfiah, frasa ulil amri
(uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai
konotasi yang sama, yaitu al-hakim (penguasa). Jika wali adalah
bentuk mufrad (tunggal) maka uli adalah jamak (plural). Namun demikian, kata uli bukan
jamak dari kata wali.
Al-Quran menggunakan frasa ulil amri dengan konotasi dzawi al-amr,
yaitu orang-orang yang mempunyai (memegang)
urusan, sebagaimana juga dikatakan Imam al-Bukhari
dan Abu Ubaidah. Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah,
yaitu al-hakim (penguasa). Karena itu, frasa ulil amri bisa disebut
musytarak (mempunyai banyak konotasi). Sedangkan kata minkum berarti diantara kamu. Maka
dari itu tidak mengherankan kalau Syeikh Rasyid
Ridha
mengatakan: Ulil-amri adalah Ahlul hilli wal-Aqdi yaitu orang-orang yang
mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu bisa terdiri dari tokoh masyarakat, ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslatan umum
seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para
pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat kabar dan para pelopor
kemerdekaan.
Hal ini jelas tergambar pada
saat Umar bin Khattab yang merupakan salah satu tokoh masyarakat terpercaya
pada saat itu yang kata-katanya sangat bisa dijadikan pegangan tsb mengatakan, "Tatkala Nabi saw. mengucilkan para
istrinya, aku masuk ke dalam mesjid, tiba-tiba kulihat orang-orang (para
sahabat) melempar-lempar batu kerikil ke tanah seraya mengatakan Rasulullah
telah menalak istri-istrinya, lalu aku berdiri tegak di pintu mesjid dan
kuserukan dengan sekuat suaraku bahwa Nabi tidak menalak istri-istrinya,
kemudian turunlah ayat ini, 'Dan jika datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan dan ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal seandainya mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka tentulah orang-orang
yang ingin menyelidiki duduk perkaranya akan dapat mengetahuinya dari mereka.'
Maka saya termasuk diantara orang-orang yang menyelidiki duduk perkaranya
itu."
Apa yang dikatakan Umar (ra) diatas berkenaan dengan
turunnya QS. An-Nisaa’ (4) ayat 83 berikut:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu
berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada
kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu).”
Selain itu, di dalam
Al-Qur’an terdapat sebuah ayat yang sangat sering dikutip oleh para politisi
Partai Islam terutama di musim kampanye menjelang Pemilu. Namun yang kita
sayangkan ialah umumnya mereka mengutip ayat tersebut secara tidak lengkap
alias sepotong saja. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
”Hai orang-orang yang beriman,
ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisa [4] :
59)
Mengapa ayat ini begitu populer dikumandangkan para
jurkam di musim kampanye? Karena di dalamnya terkandung perintah Allah agar
ummat taat kepada Ulil Amri Minkum. Sedangkan para politisi partai tadi
meyakini jika diri mereka terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin sosial
berarti mereka dengan segera akan diperlakukan sebagai bagian dari Ulil Amri Minkum. Dan hal itu akan
menyebabkan mereka memiliki keistimewaan untuk ditaati oleh para konstituen. Mana
ada manusia yang tidak suka dirinya mendapatkan ketaatan ummat? Itulah sebabnya
ayat ini sering dikutip di musim kampanye. Namun sayang, mereka umumnya hanya
mengutip sebagian saja yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُم
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa [4] : 59)
Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bagian
sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat
penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang baik. Bagian itulah yang
menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya pantas dijadikan Ulil Amri Minkum dan
siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan yang
berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.
Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
”Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4] : 59)
Allah menjelaskan
bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang baik ialah komitmen untuk selalu
mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak
mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan
Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.”(QS. Al-Hujurat [49]
: 1)
Sehingga kita jumpai
dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu di masa paceklik
mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk
meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah. Tiba-tiba
seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya
mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar
sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan
berkata: ”Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan
tersebut saya cabut kembali...!” Subhanallah, demikianlah
komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan RasulNya dalam
segenap perkara yang diperselisihkan.
Untuk lebih jelasnya, mari kita
simak asbabun nuzul dari QS.
An-Nisaa’ (4) ayat 59 berikut:
Bukhari
dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, "Diturunkan ayat ini
pada Abdullah bin Hudzafah bin Qais, yakni ketika ia dikirim oleh Nabi saw.
dalam suatu ekspedisi. Berita itu diceritakannya secara ringkas. Dan kata Daud,
ini berarti mengada-ada terhadap Ibnu Abbas, karena disebutkan bahwa Abdullah
bin Huzafah tampil di hadapan tentaranya dalam keadaan marah, maka
dinyalakannya api lalu disuruhnya mereka menceburkan diri ke dalam api itu.
Sebagian mereka menolak, sedangkan sebagian lagi bermaksud hendak menceburkan
dirinya." Katanya, "Sekiranya ayat itu turun sebelum peristiwa, maka
kenapa kepatuhan itu hanya khusus terhadap Abdullah bin Hudzafah dan tidak
kepada yang lain-lainnya? Dan jika itu turun sesudahnya, maka yang dapat
diucapkan pada mereka ialah, 'Taat itu hanyalah pada barang yang ma’ruf. Dalam
pada itu Hafizh Ibnu Hajar menjawab bahwa yang dimaksud di dalam kisahnya
dengan, "Jika kamu berselisih pendapat dalam sesuatu hal," bahwa
mereka memang berselisih dalam menghadapi perintah itu dengan kepatuhan, atau
menolaknya karena takut pada api. Maka wajarlah bila waktu itu diturunkan
pedoman yang dapat memberi petunjuk bagi mereka apa yang harus diperbuat ketika
berselisih pendapat itu yaitu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul. Dan Ibnu
Jarir mengetengahkan bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai kisah yang terjadi
di antara Ammar bin Yasir dengan Khalid bin Walid yang ketika itu menjadi amir
atau panglima tentara. Tanpa setahu Khalid, Ammar melindungi seorang laki-laki
hingga mereka pun bertengkar.
Kisah diatas memberi penerangan
kepada kita, bagaimana seharusnya seorang amir
(pemimpin) dan yang dipimpinnya bersikap dalam keadaan berbeda pendapat; yang
intinya adalah bahwa kita harus mengacu kepada apa yang difirmankan Allah lewat
Al-Qur’an dan apa yang dikatakan Rasulullah Muhammad saw.
Adapun dalam
kehidupan kita dewasa ini segenap sistem dan semangat hidup yang diberlakukan
di negara kita (Indonesia) ialah mengembalikan segenap urusan yang
diperselisihkan kepada selain Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).
Sebagai contoh,
dalam sidang isbat kemarin (19 Juli 2012), perwakilan dari 2 ormas Islam (Front Pembela Islam dan An-Najat Al-Islamiyah) menyatakan bahwa rekan mereka telah melihat hilal di Cakung,
namun kesaksiannya ditolak karena dianggap mengada-ada, dengan alasan tidak
mungkin ada orang yang bisa melihat hilal dengan ketinggian dibawah 2 derajat
diatas ufuk! Kata ulama NU dan para ahli astronomi: MUSTAHIL!!!
Sebenarnya apa yang
dikatakan ulama NU tsb telah menelan ludah mereka sendiri. Mengapa? Karena
metode imkanur ru’yat ala MABIMS yang mereka usung adalah metode NGAWUR!
Mengapa saya katakan ngawur? Karena metode ini mengatakan bahwa awal bulan (kalender) Hijriyah
terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di
atas cakrawala minimum 2°. Dua derajat?
Perlu rekan-rekan ketahui bahwa tak ada satupun
ahli astronomi, termasuk Prof. Thomas Djamaluddin yang mengatakan bahwa
ketinggian 2 derajat adalah ketinggian dimana mata manusia dapat melihat hilal,
walaupun dengan alat bantu seperti teleskop sekalipun. Mereka mengatakannya
dengan kata: MUSTAHIL!!.
Saya pribadi juga
masih tidak percaya jika orang di Cakung tsb dapat melihat hilal. Ini karena
menurut berita yang saya dapat, mereka melihatnya sebelum maghrib, sekitar
pukul 17.53 WIB. Tapi tidak sepantasnya kita langsung menolak kesaksian mereka
tanpa mencari tahu lebih jauh apa yang mereka lakukan. Sebab jangan sampai
misalnya jam yang mereka setel salah. Mengenai dua derajat, secara teori memang
mustahil mata manusia dapat melihat hilal dengan ketinggian tsb. Tapi lupakah
kita, bahwa bagi Allah, TIDAK ADA YANG MUSTAHIL!!.
Firman Allah:
“Apabila
Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
"Jadilah!", lalu
jadilah dia.” {QS. 3:47}
“Dia-lah yang
menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia
hanya berkata kepadanya: "Jadilah!", maka
jadilah ia.” {QS. 40:68}
Memvonis
hilal dua derajat dibawah ufuk tidak bisa dilihat, adalah suatu penghinaan besar
pada Kemampuan Allah untuk memberikan ilmuNya secara khusus berupa hidayah
kepada yang Allah menginginkannya dengan menghapus segala hambatan, baik
hambatan keterbatasan pandangan mata, hambatan bias sinar matahari, maupun
hambatan atmosfir lainnya.
Jadi seharusnya
Menteri Agama, paling tidak menelpon para saksi tsb untuk mencari tahu bagaimana
proses mereka melihat hilal! Nabi Muhammad saja, pernah mendengar langsung
kesaksian seorang badui sebelum memutuskan apakah telah masuk waktu Ramadhan
atau tidak.
Berikut hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad
saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal. Rasulullah bertanya,
“Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada illah selain Allah dan bersaksi bahwa
sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu
Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar
mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima,
disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Lalu bagaimana dengan nasehat agar kaum
Muslimin lebih mengutamakan PERSATUAN daripada kesaksian Rukyatul Hilal?
Seperti yang dikatakan ustadz Abu Muhammad Waskito (yang lebih dikenal dengan
panggilan Abi Syakir) bahwa Bantahannya sebagai berikut: (a). Dalam Surat Ali
Imran dikatakan, “Wa’tashimu bi hablillahi jami’an, wa laa tafarraquu.” Dalam
ayat ini berpegang teguh kepada kebenaran DIDAHULUKAN daripada persatuan.
Hikmahnya, apa artinya bersatu kalau ingkar terhadap Syariat Islam?; (b). Ibnu
Mas’ud menjelaskan pengertian Al Jamaah, “Ittifaqu bil haqqi walau kunta wahid”
(sepakat dengan kebenaran walau engkau hanya seorang diri). Kita harus
berpegang dengan kebenaran, meskipun seorang diri; (c). Dalam Sunnah disebutkan
sabda Nabi Saw, “Innamat tha’atu fil ma’ruf” (bahwa ketaatan itu hanya dalam
hal yang ma’ruf saja). Mengingkari kesaksian melihat hilal tanpa dasar yang
benar dan jelas adalah maksiyat serius, harus ditolak, kita tak boleh
mematuhinya; (d). Persatuan yang dikehendaki oleh Islam adalah persatuan yang
Syar’i, bukan persatuan yang membuang kaidah Sunnah Rasululullah Saw; (e).
Bersatu di atas kebathilan justru sangat dilarang dalam Islam, seperti disebut
dalam Surat Al Maa’idah, “Wa laa ta’awanuu ‘alal itsmi wal ‘udwan”(jangan
kalian bekerjasama di atas dosa dan permusuhan).
Bila demikian keadaannya,
berarti Pemerintah dan sebagian ulama tidak layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya. Mereka
lebih pantas dijuluki sebagai Mulkan Jabbriyyan sebagaimana
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sebutkan
dalam hadits beliau. Mulkan Jabbriyyan artinya para penguasa yang memaksakan
kehendaknya seraya tentunya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Mereka
biasanya memiliki rasa ego serta sifat iri dan dengki yang luar biasa, sehingga
enggan untuk mengakui kebenaran yang sebenarnya telah terpampang jelas
dihadapannya. Adapun masyarakat luas yang mentaati mereka berarti telah
menjadikan para pemimpin tersebut sebagai para Thoghut, yaitu fihak
selain Allah yang memiliki sedikit otoritas namun berlaku melampaui batas
sehingga menuntut ketaatan ummat sebagaimana layaknya mentaati Allah. Na’udzubillahi min dzaalika.
Keadaan ini mengingatkan kita
akan peringatan Allah mengenai kaum munafik yang mengaku beriman namun tidak
kunjung meninggalkan ketaatan kepada Thoghut. Padahal Allah memerintahkan
orang-orang beriman untuk meninggalkan para Thoghut bila benar imannya.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
”Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim
kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan
syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 60)
Sungguh dalam kelak
nanti di neraka penyesalan mereka yang telah mentaati para pembesar dan
pemimpin yang tidak menjadikan Allah dan RasulNya sebagai tempat kembali dalam
menyelesaikan segenap perkara kehidupan.
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ
فِي النَّارِ
يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا
اللَّهَ وَأَطَعْنَا
الرَّسُولَا وَقَالُوا
رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا
وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آَتِهِمْ
ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
”Pada hari ketika muka mereka
dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya,
andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan
mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin
dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang
benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan
kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68)
Sumber:
~
Al-Qur’an (beserta asbabun nuzulnya)
wb: mattula_ada@live.com