Alhamdulilah, Insya Allah Puasa Arafah dan Idul Adha sebentar lagi akan tiba. Akan tetapi khusus untuk Puasa Arafah dan Idul Adha, maka pelaksanaannya
tidak boleh seperti Puasa Ramadhan dan Idul Fitri, dimana seluruh negeri
mengikuti negeri yang terlebih dahulu melihat hilal, namun harus mengikuti
wujudul hilal yang berada di kota Makkah, tempat Ka’bah berada, sebab
pelaksanaan Puasa Arafah dan Idul Adha ini terkait erat dengan pelaksanaan
ibadah haji yang berpusat di tempat tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Muhammad
Shiddiq Al-Jawi dalam tulisannya berjudul “Penentuan Idul Adha Wajib Berdasarkan
Rukyatul Hilal Penduduk Makkah” (dapat pula dilihat di http://hizbut-tahrir.or.id) mengatakan bahwa:
“Para ulama mujtahidin
telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk
Idul Fitri. Madzhab
Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing
negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global,
yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah
terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia,
meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun,
khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama
seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan
ru’yat yang
sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul
hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan
Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku
untuk seluruh dunia. Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya
senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara
mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak
masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin,
Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Hadits
Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali)
Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan
manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada
dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji
berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan
Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung
[muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn
Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)
Hadits ini
dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan
manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak
Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah
untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.
Di samping
itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji
(seperti wukuf
di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah),
harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan
ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam
lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu
manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan
kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam
keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari
penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang
menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan
harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.
Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :
“Sesungguhnya
Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah”
(HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam
Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no
1709).
Berdasarkan hadits itu, Imam
Asy-Syafi’i berkata,
“Disunnahkan
berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah
haji.”
Hadits
di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul
Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika
disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (=hari tatkala
jamaah haji wukuf
di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh
lebih dari satu.”
Hal ini juga tersirat dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 189:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji”.
Dalam ayat diatas, Allah seakan sengaja menampakkan bahwa munculnya hilal
(bulan sabit) adalah tanda permulaan dimulainya ibadah haji. Ibadat haji berada
dimana? Ibadat haji berpusat di Ka’bah, Makkah. Jadi, dalam melihat hilal untuk
penentuan awal bulan Dzulhijjah, maka kita harus berpedoman terhadap hilal yang
berada di Makkah, tempat Ka’bah berada; sebab pelaksanaan Puasa Arafah (tanggal
9 Dzulhijjah) serta Idul Qurban (tanggal 10 Dzulhijjah) berkaitan erat dengan
ritual ibadah haji. Lagipula, saya belum melihat satu hadits pun yang
mengatakan bahwa jika kita melihat hilal pada akhir bulan Dzulqa’dah dimanapun
kita berada, maka keesokan harinya kita boleh mulai berhaji. Ini berbeda dengan
penentuan awal dan akhir Ramadhan, dimana hadits yang menyiratkan tentang hal
itu ada.
Berkiblat ke Ka’bah dalam beribadah dan suatu urusan sebenarnya juga
merupakan anjuran dari Allah swt. Firman Allah:
Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan
mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah
berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang
lurus". {QS.
2:142}
Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat
(peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram,
had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. {QS. 5:97}
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat
beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan
menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. {QS. 3:96-97}