Senin, 22 Oktober 2012

Cara Tepat Menetapkan Puasa Arafah & Idul Adha


Alhamdulilah, Insya Allah Puasa Arafah dan Idul Adha sebentar lagi akan tiba. Akan tetapi khusus untuk Puasa Arafah dan Idul Adha, maka pelaksanaannya tidak boleh seperti Puasa Ramadhan dan Idul Fitri, dimana seluruh negeri mengikuti negeri yang terlebih dahulu melihat hilal, namun harus mengikuti wujudul hilal yang berada di kota Makkah, tempat Ka’bah berada, sebab pelaksanaan Puasa Arafah dan Idul Adha ini terkait erat dengan pelaksanaan ibadah haji yang berpusat di tempat tersebut.


Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Shiddiq Al-Jawi dalam tulisannya berjudul “Penentuan Idul Adha Wajib Berdasarkan Rukyatul Hilal Penduduk Makkah” (dapat pula dilihat di http://hizbut-tahrir.or.id) mengatakan bahwa:

Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.

Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia. Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.

Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :

“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.

Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :

“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).

Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji.”

Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.

Hal ini juga tersirat dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 189:

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.

Dalam ayat diatas, Allah seakan sengaja menampakkan bahwa munculnya hilal (bulan sabit) adalah tanda permulaan dimulainya ibadah haji. Ibadat haji berada dimana? Ibadat haji berpusat di Ka’bah, Makkah. Jadi, dalam melihat hilal untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah, maka kita harus berpedoman terhadap hilal yang berada di Makkah, tempat Ka’bah berada; sebab pelaksanaan Puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) serta Idul Qurban (tanggal 10 Dzulhijjah) berkaitan erat dengan ritual ibadah haji. Lagipula, saya belum melihat satu hadits pun yang mengatakan bahwa jika kita melihat hilal pada akhir bulan Dzulqa’dah dimanapun kita berada, maka keesokan harinya kita boleh mulai berhaji. Ini berbeda dengan penentuan awal dan akhir Ramadhan, dimana hadits yang menyiratkan tentang hal itu ada.

Berkiblat ke Ka’bah dalam beribadah dan suatu urusan sebenarnya juga merupakan anjuran dari Allah swt. Firman Allah:

Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". {QS. 2:142}

Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. {QS. 5:97}

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. {QS. 3:96-97}

Senin, 30 Juli 2012

Benarkah Pemerintah Adalah Ulil Amri Yang Harus Ditaati?


Diantara kita masih banyak yang berpandangan bahwa dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal  kita harus mengikuti Pemerintah karena Pemerintah adalah Ulil Amri Minkum. Benarkah demikian?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ulil amri minkum?

Menurut Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri dalam Tuhfadzu al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi (Dar al-Fikr, Beirut, III/207) bahwa secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai konotasi yang sama, yaitu al-hakim (penguasa). Jika wali adalah bentuk mufrad (tunggal) maka uli adalah jamak (plural). Namun demikian, kata uli bukan jamak dari kata wali. Al-Quran menggunakan frasa ulil amri dengan konotasi dzawi al-amr, yaitu orang-orang yang mempunyai (memegang) urusan, sebagaimana juga dikatakan Imam al-Bukhari dan Abu Ubaidah. Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitu al-hakim (penguasa). Karena itu, frasa ulil amri bisa disebut  musytarak (mempunyai banyak konotasi). Sedangkan kata minkum berarti diantara kamu. Maka dari itu tidak mengherankan kalau Syeikh Rasyid Ridha mengatakan: Ulil-amri adalah Ahlul hilli wal-Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu bisa terdiri dari tokoh masyarakat, ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslatan umum seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat kabar dan para pelopor kemerdekaan.

Hal ini jelas tergambar pada saat Umar bin Khattab yang merupakan salah satu tokoh masyarakat terpercaya pada saat itu yang kata-katanya sangat bisa dijadikan pegangan tsb mengatakan, "Tatkala Nabi saw. mengucilkan para istrinya, aku masuk ke dalam mesjid, tiba-tiba kulihat orang-orang (para sahabat) melempar-lempar batu kerikil ke tanah seraya mengatakan Rasulullah telah menalak istri-istrinya, lalu aku berdiri tegak di pintu mesjid dan kuserukan dengan sekuat suaraku bahwa Nabi tidak menalak istri-istrinya, kemudian turunlah ayat ini, 'Dan jika datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan dan ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin menyelidiki duduk perkaranya akan dapat mengetahuinya dari mereka.' Maka saya termasuk diantara orang-orang yang menyelidiki duduk perkaranya itu."

Apa yang dikatakan Umar (ra) diatas berkenaan dengan turunnya QS. An-Nisaa’ (4) ayat 83 berikut:
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).

Selain itu, di dalam Al-Qur’an terdapat sebuah ayat yang sangat sering dikutip oleh para politisi Partai Islam terutama di musim kampanye menjelang Pemilu. Namun yang kita sayangkan ialah umumnya mereka mengutip ayat tersebut secara tidak lengkap alias sepotong saja. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisa [4] : 59)

Mengapa ayat ini begitu populer dikumandangkan para jurkam di musim kampanye? Karena di dalamnya terkandung perintah Allah agar ummat taat kepada Ulil Amri Minkum. Sedangkan para politisi partai tadi meyakini jika diri mereka terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin sosial berarti mereka dengan segera akan diperlakukan sebagai bagian dari Ulil Amri Minkum. Dan hal itu akan menyebabkan mereka memiliki keistimewaan untuk ditaati oleh para konstituen. Mana ada manusia yang tidak suka dirinya mendapatkan ketaatan ummat? Itulah sebabnya ayat ini sering dikutip di musim kampanye. Namun sayang, mereka umumnya hanya mengutip sebagian saja yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa [4] : 59)

Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bagian sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang baik. Bagian itulah yang menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya pantas dijadikan Ulil Amri Minkum dan siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.

Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4] : 59)

Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang baik ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Hujurat [49] : 1)

Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu di masa paceklik mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan berkata: ”Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali...!” Subhanallah, demikianlah komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan RasulNya dalam segenap perkara yang diperselisihkan.

Untuk lebih jelasnya, mari kita simak asbabun nuzul dari QS. An-Nisaa’ (4) ayat 59 berikut:

Bukhari dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, "Diturunkan ayat ini pada Abdullah bin Hudzafah bin Qais, yakni ketika ia dikirim oleh Nabi saw. dalam suatu ekspedisi. Berita itu diceritakannya secara ringkas. Dan kata Daud, ini berarti mengada-ada terhadap Ibnu Abbas, karena disebutkan bahwa Abdullah bin Huzafah tampil di hadapan tentaranya dalam keadaan marah, maka dinyalakannya api lalu disuruhnya mereka menceburkan diri ke dalam api itu. Sebagian mereka menolak, sedangkan sebagian lagi bermaksud hendak menceburkan dirinya." Katanya, "Sekiranya ayat itu turun sebelum peristiwa, maka kenapa kepatuhan itu hanya khusus terhadap Abdullah bin Hudzafah dan tidak kepada yang lain-lainnya? Dan jika itu turun sesudahnya, maka yang dapat diucapkan pada mereka ialah, 'Taat itu hanyalah pada barang yang ma’ruf. Dalam pada itu Hafizh Ibnu Hajar menjawab bahwa yang dimaksud di dalam kisahnya dengan, "Jika kamu berselisih pendapat dalam sesuatu hal," bahwa mereka memang berselisih dalam menghadapi perintah itu dengan kepatuhan, atau menolaknya karena takut pada api. Maka wajarlah bila waktu itu diturunkan pedoman yang dapat memberi petunjuk bagi mereka apa yang harus diperbuat ketika berselisih pendapat itu yaitu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul. Dan Ibnu Jarir mengetengahkan bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai kisah yang terjadi di antara Ammar bin Yasir dengan Khalid bin Walid yang ketika itu menjadi amir atau panglima tentara. Tanpa setahu Khalid, Ammar melindungi seorang laki-laki hingga mereka pun bertengkar.

Kisah diatas memberi penerangan kepada kita, bagaimana seharusnya seorang amir (pemimpin) dan yang dipimpinnya bersikap dalam keadaan berbeda pendapat; yang intinya adalah bahwa kita harus mengacu kepada apa yang difirmankan Allah lewat Al-Qur’an dan apa yang dikatakan Rasulullah Muhammad saw.

Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem dan semangat hidup yang diberlakukan di negara kita (Indonesia) ialah mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada selain Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).

Sebagai contoh, dalam sidang isbat kemarin (19 Juli 2012), perwakilan dari 2 ormas Islam (Front Pembela Islam dan An-Najat Al-Islamiyah) menyatakan bahwa rekan mereka telah melihat hilal di Cakung, namun kesaksiannya ditolak karena dianggap mengada-ada, dengan alasan tidak mungkin ada orang yang bisa melihat hilal dengan ketinggian dibawah 2 derajat diatas ufuk! Kata ulama NU dan para ahli astronomi: MUSTAHIL!!!

Sebenarnya apa yang dikatakan ulama NU tsb telah menelan ludah mereka sendiri. Mengapa? Karena metode imkanur ru’yat ala MABIMS yang mereka usung adalah metode NGAWUR! Mengapa saya katakan ngawur? Karena metode ini mengatakan bahwa awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°. Dua derajat?

Perlu rekan-rekan ketahui bahwa tak ada satupun ahli astronomi, termasuk Prof. Thomas Djamaluddin yang mengatakan bahwa ketinggian 2 derajat adalah ketinggian dimana mata manusia dapat melihat hilal, walaupun dengan alat bantu seperti teleskop sekalipun. Mereka mengatakannya dengan kata: MUSTAHIL!!.  

Saya pribadi juga masih tidak percaya jika orang di Cakung tsb dapat melihat hilal. Ini karena menurut berita yang saya dapat, mereka melihatnya sebelum maghrib, sekitar pukul 17.53 WIB. Tapi tidak sepantasnya kita langsung menolak kesaksian mereka tanpa mencari tahu lebih jauh apa yang mereka lakukan. Sebab jangan sampai misalnya jam yang mereka setel salah. Mengenai dua derajat, secara teori memang mustahil mata manusia dapat melihat hilal dengan ketinggian tsb. Tapi lupakah kita, bahwa bagi Allah, TIDAK ADA YANG MUSTAHIL!!.

Firman Allah:
Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah!", lalu jadilah dia.” {QS. 3:47}
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah!", maka jadilah ia. {QS. 40:68}

Memvonis hilal dua derajat dibawah ufuk tidak bisa dilihat, adalah suatu penghinaan besar pada Kemampuan Allah untuk memberikan ilmuNya secara khusus berupa hidayah kepada yang Allah menginginkannya dengan menghapus segala hambatan, baik hambatan keterbatasan pandangan mata, hambatan bias sinar matahari, maupun hambatan atmosfir lainnya.  

Jadi seharusnya Menteri Agama, paling tidak menelpon para saksi tsb untuk mencari tahu bagaimana proses mereka melihat hilal! Nabi Muhammad saja, pernah mendengar langsung kesaksian seorang badui sebelum memutuskan apakah telah masuk waktu Ramadhan atau tidak.

Berikut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada illah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

Lalu bagaimana dengan nasehat agar kaum Muslimin lebih mengutamakan PERSATUAN daripada kesaksian Rukyatul Hilal? Seperti yang dikatakan ustadz Abu Muhammad Waskito (yang lebih dikenal dengan panggilan Abi Syakir) bahwa Bantahannya sebagai berikut: (a). Dalam Surat Ali Imran dikatakan, “Wa’tashimu bi hablillahi jami’an, wa laa tafarraquu.” Dalam ayat ini berpegang teguh kepada kebenaran DIDAHULUKAN daripada persatuan. Hikmahnya, apa artinya bersatu kalau ingkar terhadap Syariat Islam?; (b). Ibnu Mas’ud menjelaskan pengertian Al Jamaah, “Ittifaqu bil haqqi walau kunta wahid” (sepakat dengan kebenaran walau engkau hanya seorang diri). Kita harus berpegang dengan kebenaran, meskipun seorang diri; (c). Dalam Sunnah disebutkan sabda Nabi Saw, “Innamat tha’atu fil ma’ruf” (bahwa ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf saja). Mengingkari kesaksian melihat hilal tanpa dasar yang benar dan jelas adalah maksiyat serius, harus ditolak, kita tak boleh mematuhinya; (d). Persatuan yang dikehendaki oleh Islam adalah persatuan yang Syar’i, bukan persatuan yang membuang kaidah Sunnah Rasululullah Saw; (e). Bersatu di atas kebathilan justru sangat dilarang dalam Islam, seperti disebut dalam Surat Al Maa’idah, “Wa laa ta’awanuu ‘alal itsmi wal ‘udwan”(jangan kalian bekerjasama di atas dosa dan permusuhan).

Bila demikian keadaannya, berarti Pemerintah dan sebagian ulama tidak layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya. Mereka lebih pantas dijuluki sebagai Mulkan Jabbriyyan sebagaimana Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sebutkan dalam hadits beliau. Mulkan Jabbriyyan artinya para penguasa yang memaksakan kehendaknya seraya tentunya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Mereka biasanya memiliki rasa ego serta sifat iri dan dengki yang luar biasa, sehingga enggan untuk mengakui kebenaran yang sebenarnya telah terpampang jelas dihadapannya. Adapun masyarakat luas yang mentaati mereka berarti telah menjadikan para pemimpin tersebut sebagai para Thoghut, yaitu fihak selain Allah yang memiliki sedikit otoritas namun berlaku melampaui batas sehingga menuntut ketaatan ummat sebagaimana layaknya mentaati Allah. Na’udzubillahi min dzaalika.

Keadaan ini mengingatkan kita akan peringatan Allah mengenai kaum munafik yang mengaku beriman namun tidak kunjung meninggalkan ketaatan kepada Thoghut. Padahal Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk meninggalkan para Thoghut bila benar imannya.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 60)

Sungguh dalam kelak nanti di neraka penyesalan mereka yang telah mentaati para pembesar dan pemimpin yang tidak menjadikan Allah dan RasulNya sebagai tempat kembali dalam menyelesaikan segenap perkara kehidupan.

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68)


Sumber:
~ Al-Qur’an (beserta asbabun nuzulnya)

wb: mattula_ada@live.com